Friday, March 25, 2011

While I Walk The Path We Once Kissed

City view can be so pretty.
Cause there's the place where you once kissed me.
Night rhymes, faded whispers,
all our warm stories
just divine.

you tell me love isn't real.
it's just something that we do.

and while I walk the path where we once kissed
I began to think

Whatever.
Whatever you name it.
If this ain't love, why does it feels so good?

I smiled.

this is the place we once kissed.
and I know we just say goodnight, and not goodbye.

we said goodnight, and not goodbye.

13 Febuari 2011 


ever thine, ever mine, ever ours









Thursday, March 24, 2011

Gara-gara sahabat saya--para Sapi,
kemarin-kemarin saya sempet mimpiin love interest saya di kelas 2SMA.
Hari itu mereka menyebutkan nama itu berkali-kali.
Karena hari itu, katanya--saya menyanyikan beberapa lagu
yang jadi lagu kesukaan dia dulu.

Inisialnya A. Ketua ekskul futsal. Main piano & gitar.
Suka baca buku Kahlil Gibran: Sayap Sayap Patah.

"Aku usahain cepet beres meeting (futsal).
 Kalau beres sekolah aku belum selesai, kamu tungguin aku ya.
Pokoknya jangan pulang. Tungguin aku."
Percakapan janjian ngedate tanggal 14 Febuari.

"Iya. Aku tahu kamu cemburu. Maaf ya." Kami nggak pernah ada ikatan apa-apa.
Tapi dia minta maaf saat peluk cewek lain di depan saya.

Mau lebih pahitnya lagi?
Saya pidato penghiburan mewakili sekolah waktu papanya meninggal.
Setelahnya, ibunya ngomong, "Titip ____ ya?Temenin dia."
Sambil memeluk saya erat. Sebelumnya saya memeluk dia.

Akhirnya, kami memang nggak pernah bersama.

Kecewa? Nggak juga. Karena nggak ada yang sia-sia.
Tapi saya sadar, peran saya dan peran dia di hidup kami masing-masing sudah selesai.
Nggak sia-sia, tapi nggak perlu diperpanjang.

Terakhir bertemu di wedding temen gerejanya dia,
kami sama-sama sudah punya pasangan.

Begitu melihat saya, dia berdiri, nyamperin , lalu menyalam tangan saya.
Saya tersenyum. Kami berakhir bahagia. Sungguh.
Walau tak pernah bersama.

And though we drifted apart, in those shorts,random moments 
when I catch your eyes,we knew.
We knew we were happy.


Wednesday, March 23, 2011

Harapan,Ilusi, Mozaik Mimpi

"You're the most beautiful daughter a father can have."

"Thank you, Daddy. But I think you don't have the privilage
to say that, since we shared the same genes."


Hai,Pa.

Empat belas tahun sejak usiaku tujuh tahun.
Mengapa aku tiba-tiba mengingatnya?
Ada satu yang mengganjal sebenarnya, Pa. Aku penasaran.
Apakah kecintaanku pada langit malam, bintang, dan juga lampu kota ini karena Papa sering mengajakku melihatnya?

Pa, aku hafal letak rasi Orion, Biduk, Scorpio, Layang-layang. Semuanya.
You name it. 
Aku tahu mengapa di langit, Scorpio tak pernah bertemu dengan Orion.
Aku hapal kalau Antares berwarna merah dan Altaire berwarna biru.

Lalu pemandangan yang paling aku cari hingga hari ini,
tetaplah langit malam, bintang, dan lampu kota.
Itukah alasan mengapa Mama jatuh cinta padamu?
Karena wanita selalu menyerah pada segala hal yang indah.

Dan malam itu, di usia tujuh tahun, aku ingat betul. 
Beberapa hari sebelum keberangkatan aku dan Mama ke negeri
sebrang untuk menemani Mama menimba ilmu. Papa mengajak
aku dan Mama kembali melihat langit malam, lampu kota, dan
bintang. Aku ingat betul tempatnya.
Lalu Papa berkata, "Besok-besok, kamu nyanyi disini,ya."
Perkataan itu adalah sebuah harapan. Ilusi. Mozaik mimpi.
Atau versi sarkartisnyanya, mustahil. Tapi Pa, doamu sungguh ajaib.
Di usiaku yang ketiga belas, aku bernyanyi disana, Pa.

Dan Pa, tahu nggak? Pemandangan paling indah malam itu bukan langit,
bukan bintang, bukan lampu kota Bandung.
Tapi ketika Papa melingkarkan lengan di bahuku,
dan aku melingkarkan lengan di pinggangmu sambil bersandar.
Lalu kita bicara. Entah tentang apa saja. Aku tak peduli.

Putrimu,
Laras



Bella.Notte


Sunday, March 20, 2011

I'd Do It All Again


"I'd Do It All Again"
Ooh, you’re searching for something I know,
won’t make you happy
Ooh, you’re thirsting for something I know,
won’t make you happy
Ooh, you did it all again, you broke another skein
It’s hard to believe this time, hard to believe
That my heart, my heart’s an open door
You got all you came for, baby
So weary, someone to love is bigger than your pride’s worth
Is bigger than the pain you got for it hurts
And out runs all of the sadness
It’s terrifying, life, through the darkness

And I’d do it all again, I’d do it all again
I’d do it all again, I’d do it all again
You try sometimes but it won’t stop
You got my heart and my head’s lost, ooh yeah
I’ve been burning down these candles for love, for love
So weary, someone to love is bigger than your pride
Ooh, someone to love, mm, someone to love
Someone to love
Ooh, you’re searching for something I know,
won’t make you happy
Ooh

 youtube




Cuma mau bilang kalau saya suka lagu ini, versi ini. Terima kasih. 

Friday, March 18, 2011

Penari Tali

Pernahkah kamu menonton sirkus? Kalau iya, pasti tahu tentang penari tali. 
Orang yang berjalan di atas seutas tali dari ketinggian tertentu. 
Biasanya dia sambil pegang tongkat panjang yang dipegang secara horisontal 
sebagai penyeimbang. 
Atau versi lainnya, berjalan di atas sepeda roda satu.
syerem yaa..


Logikanya, kalau ada orang nonton sirkus, yang jalan di seutas tali pasti dibilang 
paling berani, 
karena dia dengan nekadnya berjalan di atas tali. 

Padahal sebenarnya dia orang yang paling takut
Saking takutnya dia nggak mau jatuh dari tali itu.

Dua tahun yang lalu, saya adalah orang yang takut banget mengangguk setuju 
untuk masuk ke dalam sebuah relationship yang baru. 
Karena sebelumnya hati saya patah sepatah-patahnya. 
Malam-malam dimana saya sesengukan. Bengong. Dada saya sesak. 
Lalu mau ngapa-ngapain jadi nggak enak. 
Saya belum sanggup mengalami itu lagi. 
Saya belum sanggup berjalan di atas tali. 
Saya bukan penari tali. Saya takut. 

Lalu setahun setelahnya, saya dihadapkan pada pertanyaan itu.
Lalu saya mengangguk. 
Berkata 'Mau'. Bukan berarti luka saya pada saat itu sudah sembuh total. 
Bukan saya sudah berlatih sehingga saya berani berjalan di atas tali. 
Bukan karena saya tiba-tiba bertransformasi jadi penari tali, tapi karena saya takut.

Takut tidak menghabiskan waktu bersama dia lagi. 
Takut hari-hari ketawa tiap baca SMSnya tidak ada lagi.
Takut,dia akan hilang dari samping saya. Dan takut--saya akan kehilangan dia. 

Dan saking takutnya, sampai hari ini saya berusaha belajar 'mengerti',
 belajar 'menerima', belajar 'mendengarkan', belajar 'mendampingi'.
Saya bukan penari tali, tapi sekarang saya belajar untuk berjalan di atas tali itu.

Pelajaran ini nggak bakal selesai, saya nggak akan pernah dapet nilai A, apalagi lulus. 
Tapi semuanya itu worth it, karena kali ini saya nggak akan membiarkan diri saya jatuh,
setidaknya tanpa usaha untuk terus berjalan di atas tali itu.

Dan itu semua bukan karena saya berani.   

Selamat Ulang Tahun Mama

Sedikit tentang Ibu saya--yang saya panggil 'Mama'.
 
Ibu saya terlahir dengan nama Ruth Irnawati. 
 
Lahir di Banjarmasin, tinggal disana sampai kelas 2 SMP,
setelahnya ikut orang tua dinas di Bandung. 
Satu hal yang khas dari mama adalah otaknya yang super pintar.
Mama sekolah di SMPN 5, lanjut SMAN 5, keterima di ITB, 
tapi akhirnya kuliah di HI UNPAR 85.
Waktu kami tinggal di USA, mama sekolah lagi di California.
Mama juga main piano klasik dan pop. 
Selain itu mama biasa jadi ketua di berbagai organisasi dan gereja. 
Oke, saya merasa sangat terintimidasi karena saya nggak sepintar dan seaktif mama.

(sebelum diprotes nggak sopan, di rumah kami memang biasa mengganti kata 'beliau' 
dengan kata 'dia' tanpa mengurangi rasa hormat.)

1. Sejauh yang saya bisa ingat, Mama mencekoki saya dengan berbagai macam buku, 
artikel, koran, majalah, kamus, dan segala macam bentuk tulisan lainnya.
 Kalau ibu-ibu lain berkata baca komik Doraemon itu nggak penting, 
Mama selalu temenin saya ke taman bacaan di jalan sabang cuma buat pinjem komik, 
dan beliin doraemon seri terbaru (termasuk ikut baca dan hapal ceritanya juga) 
Katanya buku apapun pasti ada manfaatnya.
Sekarang saya mulai bisa ngepost tulisan sendiri. Belajar baca buku-buku yang agak tebel. 

2. Mama tidak pernah memanggil saya dengan sebutan nama, dia selalu memanggil saya
 'Sayang'. 
Kalaupun memanggil nama, biasanya saya dipanggil Stephanie
 (dibaca 'Stephenie" bukan 'Stefani') bukan dengan nama depan. 
Sekarang nampaknya kebiasaan itu turun. 
Biasanya saya manggil orang dengan panggilan sayang tersendiri.
 Yah, terasa lebih spesial bukan? :)

3. Kalau anak SD lainnya dengerin Maissy, Sherina, dll, saya dengerin 
Norah Jones, David Foster, Whitney Houston dkk dan nggak diprotes.
Sampai hari ini kaset-kaset itu masih saya simpen.  

PS. Mama ngefans berat sama Travis Barker, drummernya Blink 182. 
 
Satu lagi, mama membiarkan saya mengambil berbagai keputusan penting di hidup saya, 
mulai dari hal kecil seperti baju dan sepatu, pilihan tempat kost,
sampai hal besar seperti kemana akhirnya saya akan berlabuh dalam karir.
 
Cuma satu yang mama larang sampai hari ini:
 "Anak perempuan nggak boleh berambut pendek.Percuma jadi perempuan 
kalau rambutnya pendek."

Mama saya unik kan? Nggak usah heran kenapa saya jadi kayak begini.
*nyengir


Selamat ulang tahun ke empat puluh empat Mama.







Wednesday, March 02, 2011

Untuk Seseorang di Esok Hari (nulisbuku.com project)

Hai. Kamu tahu? Sejak usia tujuh tahun aku sudah membayangkan hari pernikahanku. Ya, layaknya khayalan anak perempuan lainnya. Bertemu pangeran tampan, menikah lalu hidup bahagia selamanya.
kiss me, please do.

Lalu beranjak dewasa, di usia dua puluh satu, hidup bahagia ternyata bukan seperti itu. Hidup bahagia bukan bertemu pangeran tampan. Hidup bahagia adalah ketika saya bangun pagi dan mendapati kamu yang ada di samping saya. Ketika kamu membuat saya mengomel karena kamu meletakkan cucian tidak pada tempatnya. Ketika kamu tertawa saat melihat masakan saya gosong. Ketika kita punya pilihan lain, namun memutuskan untuk tetap berdua.

Bukan sekedar rajutan dongeng. Hidup bahagia adalah sesuatu yang kita jalani.

Dan saya mau, setelah sepuluh, dua puluh, bahkan berpuluh-puluh tahun lagi, kamu masih tetap memanggil saya 'Sayang'. Kamu masih memberikan kejutan di hari ulang tahun saya. Saya masih setia mendampingimu dalam pekerjaanmu. Saya masih mengomel kalau kamu tidur larut. Dan kita masih menjalani semuanya itu bersama.

Hei, terima kasih ya, sudah mendonorkan tulang rusukmu. Kini ia sudah kembali ke pelukan pemiliknya. Rasanya tak sabar menuliskan nama keluargamu di belakang namaku. Walau aku belum tahu siapa namamu.

Mungkin saja kamu orang yang bertemu denganku waktu usiaku sembilan belas tahun.

Mungkin kamu masih di luar sana, bertanya-tanya gadis mana yang tepat untukmu.

Mungkin kamu orang yang selama ini ada di samping saya. Tanpa saya dan kamu sadari bahwa semesta sudah berkonspirasi untuk mempertemukan kita.

Mungkin saja kamu adalah orang yang sedang membaca tulisan ini. Ya, kamu.

Dan semoga suatu hari nanti kamu menyadari bahwa saya mungkin saja orang yang tepat itu.

Salam sayang,
calon isterimu.

Untuk Bella

Selamat malam, Bella. Ada apa denganmu akhir-akhir ini? 

Jangan menggelengkan kepala. Aku mengenalmu sejak kamu masih dua belas tahun, duduk di kelas enam SD. Aku mengamati setiap perubahanmu. Tempat dimana kamu selalu jujur hanyalah di balik pintu kamarmu.

Berkali-kali aku mendapati kamu menangis sambil bertelut di samping tempat tidurmu. Doa. Itukah caramu bercerita? Apa yang kamu khawatirkan? Sini, peluk aku. Aku juga ingin jadi temanmu bicara.

Terkadang kamu berdoa sambil menggelengkan kepalamu berkali-kali. Aku pernah mendengarmu berbisik, "Tuhan, aku nggak kuat lagi." Kamu tahu? Mendengarnya saja sudah membuatku meringis. Namun biasanya setelah itu kamu akan tertidur nyenyak. Aku lebih senang melihatmu menangis. Jangan salah paham dulu, Bella. Karena terkadang kamu tidak menangis. Tapi kamu hanya diam. Lalu menghela napas panjang. Melewatkan jam tidurmu. Hei. Aku lebih khawatir ketika kamu bersikap seperti itu.

Tak ada alasan, apalagi logika. Iman dan perasaan adalah dua hal yang tak bisa kita tanyakan mengapa. Dan doa adalah kotak pos dari semua perasaan itu. Menulis lewat bisikan dalam lirihnya doa. Lalu memasukkannya dalam amplop bernama lipatan tangan. Memakai perangko kata 'Amin.' Dan nama Tuhan sebagai tukang pos ke surga.

Hei. Aku tahu kamu rindu. Rindu pada seseorang yang sudah ada di surga sana. Aku tahu kamu khawatir. Pada rasa sakit bertubi-tubi di hatimu. Khawatir akan ada saatnya kamu harus belajar untuk berkata "Nggak bangun lagi pun nggak apa-apa." Aku tahu kamu kecewa. Bahwa hidup ternyata membawa beban sebesar itu. Dan aku tahu kamu butuh. Butuh seseorang untuk bilang "Nggak apa-apa Bella, kita akan ngelewatin semuanya ini sama-sama." tapi itu hanya ada di khayalmu saja.

Kamu tahu? Mungkin Tuhan sedang melihat batas antara penerimaan dan kesetiaanmu.

Penerimaan bahwa walaupun matamu tertutup,akan ada yang menuntun kamu berjalan. Kesetiaan menunggu, walau suratmu tak kamu rasa ada balasnya.

Mungkin saja, orang yang akan menuntun kamu sebenarnya sudah ada di sampingmu.

Dan mungkin saja, balasan suratmu itu aku.

Bella Notte


Selamat tidur Bella. Sini, peluk aku.
Creative Commons License
Journey. And Us. is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.