Wednesday, February 29, 2012

Pendidikan Sebenarnya


Pendidikan Sebenarnya

by Prof Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. *

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti

Note:
Saya juga ngerasain BANGET bedanya pendidikan di Indonesia dan di Amerika Serikat.
Hmm.. *mulai mengetik*

Tuesday, February 28, 2012

Secangkir Teh dan Kopi


31 Desember 2011

Alkisah, ada secangkir teh dan secangkir kopi duduk bersama di café. Mereka bertemu tidak sengaja karena di luar hujan deras, maka masing-masing memutuskan untuk istirahat sejenak. Ketika bertemu, mereka memutuskan untuk duduk bersama.

Teh mengeluh. Hujan memperlambat langkahnya. Begitu banyak urusan yang harus diselesaikan hari itu. Bukan hanya hari itu saja, tapi sepanjang minggu, sepanjang bulan, bahkan sepanjang tahun. Tapi di tengah cerita, kopi menyela.

“Pernah cium bau hujan?”

Teh menggeleng tidak sabar. “Apa pentingnya buat saya?”

“Sstt..” Kata kopi. “Coba pejamkan mata, lalu beri tahu kamu mendengar suara apa saja.”

“Yaa..air. Turun. Petir. Banyak.” Ujarnya tidak sabar.

Kopi berkata, “Mendengar itu, bukan pakai telinga. Mendengar itu pakai nurani.

Rintik hujan begitu tipis. Teduh.

Lagu hujan mungkin lagu paling sederhana sekaligus lagu paling romantis untuk semua yang pernah memberi. Untuk semua yang pernah mengambil. Untuk semua yang pernah lupa. Untuk semua yang selalu ingat. Untuk semua yang berani memiliki. Untuk semua yang rela melepas.”

Mendengarnya teh tertawa terbahak. “Ngawur kamu. Dasar ghuendeng.”

Kali ini kopi kehilangan kesabarannya. “Lha kamu? Sama aja kayak natap layar kosong. Hidup tapi hampa. Berisi tapi kosong. Tahukah kamu konstan itu sama dengan nol?” Ia menggelengkan kepalanya tidak sabar.

Kali ini, untuk kedua kalinya teh memejamkan mata, Ketika ia mendengar dengan lebih seksama, nyatalah perkataan kopi. Lalu ia mulai menangis keras.

Terkadang kita mudah lupa. Lupa akan hal-hal kecil. Lupa untuk sekedar menikmati. Terlalu terburu-buru mengejar waktu. Memangnya waktu mau kemana?

Kali ini, di esok hari, adakan masanya untuk menarik napas. Sedikit menikmati. Sekedar memberi bagi yang membutuhkan, mengambil yang pernah ditelantarkan, merekam memori—supaya tidak ada yang kecewa ketika terlupa.

Lalu mendengar tidak hanya dengan telinga, tapi juga dengan hati. Kenapa? Supaya tidak jadi layar kosong. Konstan. Nol. Karena surga terima orang yang mendengar sesamanya.

Ketika hujan berhenti mereka keluar dari café. Melambai sambil berbisik,

“Selamat tahun baru.”




Catatan: Ini ditulis untuk acara tutup tahun GMAHK Setiabudi 2011. 


Got the secret message?
Bacalah dengan hati, bukan mata. :)

Quote Of The Day


Poetry might be defined as the clear expression of mixed feelings. 



Tuesday, February 21, 2012

[Lomba Fiksi Fantasi 2012] Sayap Ungu Tua di Jonggring Saloko


Keyword: cerpelai, polkadot, pohon pisang, rasi, gula-gula, salju, palung.

“Kawah Jonggring Saloko, terkenal dengan gas beracun yang dinamakan Wedhus Gembel[1] oleh penduduk setempat, hari ini menunjukkan gejala yang tidak biasa. Dalam keadaan normal puncak Gunung Semeru ini meletus setiap lima belas menit sekali, hari ini telah meletus selama tidak henti-hentinya selama satu jam. Para pakar sedang berusaha mencari tahu ada apa di balik fenomena alam ini dan hasil sampai saat ini masih nihil. Kawah Jonggring Saloko memang dilarang untuk didatangi karena terdapat gas beracun dan lahar panas. Sementara masyarakat Ranu Pani, desa di Gunung Semeru hanya mengatakan bahwa Mahameru memang menyimpan banyak misteri.” 

Aku menggelengkan kepala pelan saat mendengar suara reporter televisi tadi melaporkan berita secara langsung dari kawah Gunung Semeru. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi melibatkan warga nasional. Ini hanya sekedar upacara, pikirku. Mungkin teman-teman dan keluargaku agak berlebihan, mengingat sebelumnya letusan itu hanya terjadi sekali-sekali. Aku menghela napas. Ya, betul sekali. Kawah Jonggring Saloko dilarang didatangi manusia. Mahameru memang menyimpan banyak misteri.

Perjalanan aku dan Andro ke Mahameru merupakan satu kesalahan. Disinilah kami terdampar, terpisah dari rombongan karena kesalahan kami sendiri, yang terlambat di belakang. Sejak subuh tadi, Andro mulai terengah-engah kehabisan napas. Aku mencari kompas dan berusaha mengingat-ingat. Jarak dari Arcopodo ke puncak sekitar empat jam, kami sudah berjalan dua jam lebih sebelum Andro sesak napas dan roboh. Aku duduk di samping Andro, menahan sakit di pergelangan tanganku yang berdarah karena terkena pisau dari tas Andro yang tidak sengaja mencuat saat ia roboh. 

Namaku Airin. Sebenarnya namaku Eirene, nama Dewi Yunani yang berarti ‘kedamaian’. Dalam dunia manusia, lebih dikenal dengan ejaan Irene. Oh, aku lupa memberitahumu, aku seorang peri

Jangan pikir kalau peri adalah makhluk mungil cantik bersayap transparan yang senang terbang kesana kemari dan menolong manusia. Lalu ada peri buruk rupa yang jahat. Sebenarnya ukuran tubuh kami sama seperti manusia. Dan aku harap kalian dapat membedakan peri dan elf. Peri itu sama seperti manusia, sedangkan makhluk mungil seperti Tinkerbell adalah elf.

Di Indonesia ada peri? Mungkin kalian berpikir demikian. Aku dapat menjamin bahwa cerpelai yang dapat berbicara juga ada di Eropa. Tapi kami para peri, adalah kaum paling cendekiawan di antara makhluk lainnya. Peri belahan dunia timur adalah peri paling pintar dan yang paling mudah beradaptasi sekaligus bersembunyi dari manusia.

Sayap peri akan tumbuh di umur dua puluh satu, dan hanya nampak ketika dibutuhkan. Tidak transparan, tentunya. Sayap kami berwarna-warni, dengan motif beraneka ragam. Ada yang memiliki sayap satu warna yang luar biasa indah. Ada yang berupa garis-garis dengan warna yang berbeda-beda seperti pelangi. Ada juga dengan motif polkadot yang manis. Bahkan di zaman modern seperti sekarang, ada yang memiliki sayap dengan tulisan grafitti. Luar biasa bukan? 

Permasalahannya, sayap bukan sesuatu yang tumbuh secara alami seiring bertambahnya usia, seperti gigi. Pertama-tama kami memang harus cukup umur. Setiap bulannya, semua yang telah berumur satu pada bulan itu akan dikumpulkan dalam satu upacara.  Lalu, Mbah Medeia, Si Peri Pengerti sekaligus peri paling tua dalam klan kami, akan pergi ke puncak Gunung Semeru atau lebih dikenal dengan Mahameru dalam wujud harimau. Mengapa dalam wujud harimau? Karena beliau sudah terlalu tua untuk pergi dalam wujud peri ataupun manusia. Para pendaki pasti sering diperingatkan tentang keberadaan harimau di Mahameru. Sesungguhnya itu adalah Mbah Medeia yang sedang mencari totem. 

Totem adalah sebuah benda, bisa berupa apa saja, benda hidup atau mati, yang akan ‘ditemukan’ oleh Mbah Medeia. Setelah kita menerima totem itu, kita harus menemukan ‘panggilan’ kita. Jalan hidup yang sudah dipilihkan semesta untuk kita. Contohnya totem ibuku adalah bunga matahari yang diartikan sebagai keceriaan. Lalu ibuku menemukan panggilannya sebagai guru TK. Ayahku lebih unik. Totemnya adalah pohon pisang, yang diartikan sebagai ketekunan. Ayahku menemukan panggilannya sebagai petani.

Kami tersebar di semua pegunungan dan kota-kota di sekitarnya. Sekitar tiga ribu peri untuk satu klan.  Mengapa pegunungan? Sayap kami harus diberi air langsung dari sumber mata air yang melambangkan kemurnian. Jika tidak, sayap kami akan mengkerut lalu kekuatannya hilang. Dan kami akan mati. Juga katanya, perjalanan ke gunung bukan sekedar perjalanan raga, tapi juga perjalanan hati. Aku tak pernah mengerti maksud kalimat ini.

Klanku, klan Jonggring Saloko tersebar di Gunung Semeru, Malang, Lumajang, Pronojiwo dan sekitarnya. Hidup bekerja berdampingan dengan manusia. Semua dari kami bekerja dengan keterampilan tangan. Tidak ada dari kami yang menjadi programmer, kontraktor, atau model iklan, misalnya. Kami menjadi petani, pengrajin, guru, penjahit, dan pekerjaan sejenisnya. 

Satu lagi, setelah kami menemukan jawaban dari misi dari totem kami, maka di jari manis tangan kanan kami akan muncul seutas benang berwarna putih. Benang itu akan berpasangan dengan benang lainnya, yaitu benang milik jodohmu. Cara mengetahuinya mudah saja, tinggal tarik benang milikmu pelan-pelan, jika benang milik peri laki-laki itu juga ikut tertarik, maka itulah jodohmu. Aku juga ingin sekali tahu. 

Mbah Medeia telah kembali setelah seminggu menjelajahi Mahameru. Totem Mbah Medeia yang paling luar biasa. Totemnya adalah rasi bintang saturnus, yang diartikan sebagai ‘pengertian’ dan sejak saat itu beliau menjadi orang bijak di klan kami. Aku, dan dua temanku yang baru saja berusia dua puluh satu, menunggu-nunggu saat-saat ini. Ketika Mbah Medeia bersiap-siap memanggil nama kami, kami semua serentak menahan napas. Ribuan peri-peri yang lain berkerumun mengelilingi kami menonton upacara.

“Laksmi.” Panggil Mbah Medeia. Ia mengepakkan sayapnya yang berwarna ungu perlahan. Warna ungu adalah warna tertinggi bagi seorang peri. 

Laksmi segera menghampiri Mbah Medeia. Rambutnya yang panjang keriting bergoyang-goyang sesuai langkahnya. Mbah Medeia mengulurkan gula-gula kapas yang putih bergumpal seperti salju. 

“Totemmu adalah sekantong gula kapas yang ditemukan di mata air Sumber Mani,yang ditinggalkan pendaki manusia. Dengan pengertian kamu akan menjadi peri penuh perjuangan yang berbuah manis.” Laksmi berlutut lalu menerima totemnya. Riuh suara peri-peri lain bertepuk tangan. 

“Tengger.” Ia memanggil temanku yang bertubuh tegap. “Totemmu adalah burung belibis yang ditemukan di Ranu Kumbolo. Burung ini pandai bersiul. Dan jalanmu akan mudah ketika kamu pandai berbicara.” Peri-peri bertepuk semakin keras. 

“Rori. Danau Ranu Regulo menyediakan sekantong air yang harus kamu bawa ke palung terdalam. Kamu akan menemukan tempatmu di dalam perjalanan.” Rori mengepalkan tangan, tersenyum senang luar biasa.

“Dan terakhir,Eirene.” Ia tersenyum. “Totemmu adalah totem terunik, dan belum pernah ada sebelumnya.” Apa?Pikirku. Edelweis kah? Anggrek? Kirinyuh?

“Totemmu adalah darah dari kijang betina yang baru saja mati. Dengan pengertian penyangkalan diri sendiri.”
Kali ini tidak ada yang bertepuk tangan. Semua hanya memandangku aneh. Darah? Penyangkalan diri? Apa artinya? Aku merasa orang-orang mulai saling berbisik dan melirik padaku. Mataku panas menahan air mata. Kepalaku pusing saat itu juga. Ini mimpi buruk.

Setelah aku menerima totemku, tanpa menunggu lagi aku langsung pulang. Ke Malang. Ke kampus. Ke tempat manusia dimana aku mungkin tidak dianggap aneh.

“Hei, Airin. Kamu kenapa? Sakit?” Andro tiba-tiba menghampiri sambil menyentuh keningku. Aku terkesiap.

“Nggak. Aku kecapean aja.” Mana mungkin aku cerita tentang totem pada manusia yang sama sekali tidak mengerti? 

“Jadi ada apa di Mahameru?”

Aku mengangkat bahu. Terlalu capek untuk mengingat Laksmi yang memulai perjalanan dari kaki Semeru sampai ke Mahameru sendirian, dan mendapati sayapnya berwarna pink pastel yang lembut dengan campuran warna hitam yang membentuk burung elang apda punggungnya. Atau Tengger yang terpilih menjadi pembicara tingkat nasional mengenai sosialisasi budaya membaca buku bagi anak-anak di Indonesia, lalu mendapati sayapnya berwarna putih bersih—seperti malaikat. Atau Rori yang sedang bersiap-siap menuju palung mariana di samudera pasifik, tahu-tahu sayap berwarna emas dan perak—sayap kanan berwarna emas dan sayap kiri berwarna perak muncul begitu saja dari punggungnya lalu dengan mudahnya ia terbang ke palung mariana. 

Lalu aku? Aku kembali ke Malang, kuliah seperti biasa. Sudah satu bulan sejak kejadian itu, dan tidak ada panampakan apa-apa dari tubuhku. Andro mungkin memperhatikan perubahan itu dan selalu bertanya apa yang terjadi di Gunung Semeru sampai aku uring-uringan selama sebulan. 

Andro mengusap-usap kepalaku pelan. 

“Ayo kita ke Mahameru lagi.”

            Dan sekarang kami disini. Andro yang terbaring dan aku yang berlutut di sampingnya. Andai aku sudah punya sayap, aku tinggal terbang dan meminta pertolongan pada peri lain. Tapi sekarang? Andro mulai batuk-batuk dan mengeluarkan darah. Aku mengelapnya perlahan sambil menangis. Darah dari tanganku pun mengucur deras. Tapi aku tidak peduli. Aku mengompres kening Andro dengan air minum milikku. Lalu meminumkan sisanya pada Andro. Jangan Andro, please jangan Andro. Aku saja yang gantikan,aku saja,ambil sayapku tapi jangan Andro-ku, aku berdoa. Pandanganku mulai kabur dan tubuhku terasa limbung. Andro menyentuh lenganku pelan. Wajahnya terlihat bingung. 

            Sayap yang berwarna ungu tua baru saja muncul dari punggungku, lalu menutupi aku dan Andro dari kabut, pasir, dan bau gas. Sayap yang lebarnya luar biasa dan belum pernah kulihat sebelumnya, cukup untuk menutupi aku dan Andro. 

            “Sudah. Kamu nggak apa-apa sekarang.” Aku bergumam lalu jatuh setengah tak sadarkan diri di sampingnya. Aku melihat seutas benang di jari manisku. Aku menariknya pelan. Jari Andro ikut bergerak. Aku tersenyum. Sudah cukup. Kami memejamkan mata. Sekilas aku mendengar suara ibuku. Ah, pasti mereka melacak sayapku. Akhirnya

“Hari ini kita telah kehilangan seorang sahabat yang luar biasa, Eirene.” Suara Tengger tercekat. Ia menarik napas. “Dia telah membuktikan kesetiaan yang luar biasa, hingga mengorbankan nyawanya. Totem Eirene adalah darah dan jalannya adalah penyangkalan diri, dibuktikan dengan kerelaan Eirene melindungi manusia yang bernama Andro. Dan ternyata diketahui bahwa orang yang tepat bagi Eirene bukan dari bangsa peri,” Tengger berhenti sebelum melanjutkan.

 “Tapi dari manusia. Tidak ada yang mustahil,dan perjalanan hati di Mahameru memang menyimpan banyak rahasia. Ketika ditemukan, Eirene telah memiliki sayap. Berwarna ungu tua. Dan satu-satunya peri lain yang memiliki sayap serupa adalah Mbah Medeia. Eirene telah mencapai pencapaian akan jalan hidup yang tertinggi yang dapat dicapai seorang peri.” Peri-peri lain menutup mulutnya, terkejut. 

“Sayangnya,peri yang memperlihatkan sayapnya, dan manusia yang pernah melihat sayap peri, akan mati. Tapi walaupun tahu konsekuensinya, Eirene tidak peduli. Dan kita semua bangsa peri, terutama klan Jonggring Saloko, amat kehilangan. Dan kita patut mengenang peristiwa ini selamanya.”

Lalu dimulailah upacara pelepasan. Semua peri akan mengepakkan sayapnya sekuat-kuatnya berulang kali hingga menyebabkan letusan Wedhus Gembel.

Aku dan Andro bergandengan tangan. Ah, satu dari banyak hal yang baru bisa kita mengerti saat mengalami sendiri. Aku berjalan melewati pembawa berita tadi. Sekarang pun aku sudah merasa damai. Eirene.



[1] Bahasa Jawa yang berarti kambing gimbal

Jumlah karakter tanpa spasi, judul, keyword dan footnote: 9838


Monday, February 20, 2012

Quote Of The Day


"We dream to give ourselves hope. To stop dreaming - well, that’s like saying you can never change your fate."

Creative Commons License
Journey. And Us. is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.