Tuesday, February 28, 2012

Secangkir Teh dan Kopi


31 Desember 2011

Alkisah, ada secangkir teh dan secangkir kopi duduk bersama di café. Mereka bertemu tidak sengaja karena di luar hujan deras, maka masing-masing memutuskan untuk istirahat sejenak. Ketika bertemu, mereka memutuskan untuk duduk bersama.

Teh mengeluh. Hujan memperlambat langkahnya. Begitu banyak urusan yang harus diselesaikan hari itu. Bukan hanya hari itu saja, tapi sepanjang minggu, sepanjang bulan, bahkan sepanjang tahun. Tapi di tengah cerita, kopi menyela.

“Pernah cium bau hujan?”

Teh menggeleng tidak sabar. “Apa pentingnya buat saya?”

“Sstt..” Kata kopi. “Coba pejamkan mata, lalu beri tahu kamu mendengar suara apa saja.”

“Yaa..air. Turun. Petir. Banyak.” Ujarnya tidak sabar.

Kopi berkata, “Mendengar itu, bukan pakai telinga. Mendengar itu pakai nurani.

Rintik hujan begitu tipis. Teduh.

Lagu hujan mungkin lagu paling sederhana sekaligus lagu paling romantis untuk semua yang pernah memberi. Untuk semua yang pernah mengambil. Untuk semua yang pernah lupa. Untuk semua yang selalu ingat. Untuk semua yang berani memiliki. Untuk semua yang rela melepas.”

Mendengarnya teh tertawa terbahak. “Ngawur kamu. Dasar ghuendeng.”

Kali ini kopi kehilangan kesabarannya. “Lha kamu? Sama aja kayak natap layar kosong. Hidup tapi hampa. Berisi tapi kosong. Tahukah kamu konstan itu sama dengan nol?” Ia menggelengkan kepalanya tidak sabar.

Kali ini, untuk kedua kalinya teh memejamkan mata, Ketika ia mendengar dengan lebih seksama, nyatalah perkataan kopi. Lalu ia mulai menangis keras.

Terkadang kita mudah lupa. Lupa akan hal-hal kecil. Lupa untuk sekedar menikmati. Terlalu terburu-buru mengejar waktu. Memangnya waktu mau kemana?

Kali ini, di esok hari, adakan masanya untuk menarik napas. Sedikit menikmati. Sekedar memberi bagi yang membutuhkan, mengambil yang pernah ditelantarkan, merekam memori—supaya tidak ada yang kecewa ketika terlupa.

Lalu mendengar tidak hanya dengan telinga, tapi juga dengan hati. Kenapa? Supaya tidak jadi layar kosong. Konstan. Nol. Karena surga terima orang yang mendengar sesamanya.

Ketika hujan berhenti mereka keluar dari café. Melambai sambil berbisik,

“Selamat tahun baru.”




Catatan: Ini ditulis untuk acara tutup tahun GMAHK Setiabudi 2011. 


Got the secret message?
Bacalah dengan hati, bukan mata. :)

No comments:

Post a Comment

Creative Commons License
Journey. And Us. is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.