Monday, February 13, 2012

The Man Who Can't Be Moved


It’s been a year since I wrote  this and began to hate Valentine’s day.  

Then there's this post in  here

The Man Who Can’t Be Moved

"The man who can't be moved" itu semacam seseorang yang dengan sengaja kamu simpan di dalam hatimu, walaupun kamu telah bersama orang lain. ”

Dan akhirnya saya mengerti: "The man who can't be moved" inilah yang membuat saya, kamu, dan siapapun yang baca tulisan ini susah untuk moving on.

Lalu saya berpikir, kalaupun masih ada yang susah untuk moving on, kenapa musti lekas-lekas dipaksa. Terkadang menyimpan itu hal baik.

Dalam menyimpan harusnya kita belajar lebih apik mengurusi sesuatu, kita akan menjaganya supaya tidak berdebu, kita merawat, kita melindungi, kita belajar menjadi seperti Ibu.

Punya The man who can't be moved tidak selamanya merugi, bisa jadi semesta masih mempercayai orang tersebut kepada hatimu. Ataupun sebaliknya, orang itu selalu ada untuk menjaga hatimu. Tergantung kamu mau meresponinya seperti apa.

Surat ini saya tulis kepada The man who can't be moved di hati saya. Yang betah, begitu lama, selalu mendapatkan perlakuan khusus, selalu saya nomor satukan walau saya sudah punya orang lain. Selalu saya kangeni, walau kadang ia suka menyakiti.

Saya mau bilang apa lagi selain: mungkin suatu hari, kamu akan bangun di tempat tidurmu. Lalu berpikir, saya adalah orang yang tepat itu.

Saya berdoa, semoga kamu tidak terlambat menyadarinya. 

Semoga. 

And I write my own version of “The Man Who Can’t Be Moved” on my facebook notes on February 7th 2011:
This is it (with a bit revision)

Saya suka kesel sama diri sendiri akhir-akhir ini. Kesel karena para perempuan ini dikasih perasaan yang mengalahkan logika. Dan dengan suksesnya perasaan saya—kacau. Kacau abis. Dan ‘perasaan’ itu begitu kuatnya, begitu dominan, bikin saya nggak konsen ngapa-ngapain.

The man who can’t be moved.

The man who can’t be moved buat saya itu—bukan yang nggak bisa dilupain dari masa lalu. Tapi yang nggak bisa dilupain di hari ini. Orang yang dicari ketika otak, hati, jiwa, dan tubuh menagih, tapi kehadirannya kosong, dan bukan nol. Dan kamu tersiksa karena he can’t be moved. Dari otakmu, dari hatimu, dari jiwamu, bahkan dari tubuhmu.

Dia nggak tahu hati saya seperti diparut. Seluruh bagiannya sakit.

Nggak perlu membahas soal rindu. Terkadang ada saatnya saya berdoa supaya Tuhan menghapus saja semua memori itu. Doa yang nggak berlogika. Dengan kata lain saya minta Tuhan membuat saya amnesia. Atau demensia.

Dan yang lebih pahitnya lagi, saya nggak yakin saya bisa sukses membenci dia. Atau perbuatannya. Sampai kapanpun. Bahkan seandainya nanti dia lupa sama saya. Saya nggak yakin rasa ini bisa hilang nantinya.

Sebelum hati saya habis terparut, sebelum mata saya sudah tak bisa berair lagi, sebelum saya menyimpan semua yang biasa saya bagi dua sendirian, ingin sekali. Bertemu. Mengingat bulan, lampu kota, bintang, perjalanan, dan kita. Semuanya itu. Semoga.

Dan semoga juga, kamu menyadari bahwa saya mungkin saja orang yang tepat itu.

Semoga juga, kamu tidak terlambat menyadarinya.

B.



February 13th, 2012

February 14th was never became a problem, not even on the ages that I spend on being single, I still like it somehow. You know, the sweetness, the chocolate, teddy bear, romantic dinner perhaps, and maybe a good surprise. Valentine is a perfect time to do re-commitment and sweet stuffs without being asked, ‘Why?’

February 14th became the problem since last year.
It hurts back then, and it still hurts today. Then I find out the whole story behind ‘the day’ last year.
Then I felt like an idiot. And starting to hate the date also.

And a year after, it still hurts.

 Well, to all of you, happy valentine’s day. May yours be nice, and I’ll just sleep and wake up on February 15th.

 
There’s the place where we once kissed.
We said goodnight, and not goodbye, right?


No comments:

Post a Comment

Creative Commons License
Journey. And Us. is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.