Mikaela melambai pada teman-teman satu gerejanya. Ibadah
hari ini sudah selesai, dan dia memutuskan untuk langsung pulang. Dua bulan lagi
ia akan ujian masuk ke universitas, dan ia berusaha sebisa mungkin mengurangi
kegiatan yang tidak berguna. Tentu saja, bagi Mikaela kegiatan yang tidak
berguna itu mencakup banyak hal. Sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia
menonton televisi, atau sekedar makan siang di mall, seperti yang
teman-temannya (masih) lakukan. Sekarang Mikaela ketinggalan mode terbaru,
informasi artis mana yang sedang bermasalah hari ini, gosip-gosip, dan
kehilangan waktu bersama sahabat-sahabatnya. Yah, dalam hidup kita memang tidak
bisa memiiki semuanya bukan? Dan belajar untuk lulus adalah pilihan Mikaela.
Ia berjalan melewati pintu depan. Gereja itu terletak di
pinggir jalan, dekat lampu merah. Mikaela berjalan menuju lampu merah yang
dikerumuni anak-anak yang mengamen disana. Angkot yang
menuju ke rumahnya berada di seberang
lampu merah itu. Saat ia menoleh ke kiri dan kanan untuk menyebrang, ia melihat
sosok punggung yang rasanya ia kenal. Ia mengurungkan niatnya menyebrang lalu
berjalan ke arah orang berkaos hitam itu.
“Nan! Keenan!” Ia sontak memanggil. Si pemilik punggung
menoleh.
“Kaela!” Jawabnya.
Mikaela segera mempercepat langkahnya.
“Hei, kamu kemana aja?” ujar Mikaela. Wajahnya sedikit
memerah. Harusnya Ia bertanya ‘Apa
kabar?’ atau sekedar menyapa ‘Hai’
sebelum bertanya pertanyaan tadi. Tapi sudah berapa lama ia tidak bertemu
Keenan? Setahun? Wajar ia bertanya.
“Ada. Aku masih di Bandung kok.
Kan masih kuliah.” Keenan tersenyum. Mikaela membalas
senyum Keenan.
Mereka berdua diam sejenak. Canggung. Toh mereka tidak
pernah mengobrol lama. Keenan kakak kelasnya yang berbeda usia dua tahun. Baru
satu tahun Mikaela menginjak bangku SMA, Keenan sudah lulus. Dan satu-satunya
tempat dimana Mikaela bisa bertemu Keenan adalah di gereja. Ibu Mikaela adalah
anak dari pastor disana. Mikaela sebenarnya bukan ingin mengetahui dimana Keenan atau bagaimana kuliahnya. Tapi maksud lebih spesifik lagi dari pertanyaannya adalah
‘Kamu kenapa nggak ada di satu-satunya
tempat dimana saya bisa ketemu kamu?Di gereja itu!"
“Mmm.. Kamu mau kemana abis ini?” Keenan memecah kesunyian. Kemungkinan akan pernyataan selanjutnya membuat Mikaela
menggelengkan kepalanya. Sedikit
berharap, tak apa-apa kan? Pikirnya. “Nggak kemana-mana lagi.”
“Makan yuk? Saya
traktir. Kamu kok makin kurus sejak terakhir ketemu.”
Tanpa berpikir lagi Mikaela menggangguk semangat. Terlalu
semangat, malah. Nanti malam aku dobel deh jam belajarnya, pikirnya
lagi.
“Ada burger murah enak deket sini. Kamu suka?” Keenan
menunjuk arah di belakang punggungnya.
“Suka. Pake kentang goreng boleh nggak?”
Keenan terkekeh. “Boleeeh..” Mereka lalu berjalan menuju
tempat yang dimaksud Keenan.
“Kamu kecil kecil makannya banyak juga ya.”
Mikaela mengangkat bahu. “Saya kan maih pertumbuhan. Kamu
yang udah ga bertumbuh lagi.”
Keenan menjitak kepala Mikaela pelan. “Kamu sekarang
kelas tiga SMA kan? Mau kuliah jurusan apa?”
Mikaela sedikit ragu sebelum menjawab, “Belum
tahu.”
Bola mata Keenan melebar. “Wow, kita bareng dong ntar.
Saya juga mau ujian masuk tahun ini.”
Kunyahan Mikaela berhenti. “Serius?” Ujarnya. “ Kamu
bukannya udah semester empat?”
Keenan
tertawa.
(to be continued)
(next)
“Emang kenapa?”
“Tuhan sudah pensiun"
“Saya antar.”
“Nggak.”
“Nggak bisa. Kamu saya antar.”
Mikaela menyambar tas tangannya lalu cepat-cepat berlalu.
Aku nggak salah orang kan? Pikirnya. Ini Keenan yang sama dengan Keenan yang
dulu dia kenal? Yang selalu bisa memukau Mikaela dengan filosofinya? No. Kali
ini dia salah menilai.