Tuesday, April 17, 2012

Tuhan Sudah Pensiun (Part 1)


Mikaela melambai pada teman-teman satu gerejanya. Ibadah hari ini sudah selesai, dan dia memutuskan untuk langsung pulang. Dua bulan lagi ia akan ujian masuk ke universitas, dan ia berusaha sebisa mungkin mengurangi kegiatan yang tidak berguna. Tentu saja, bagi Mikaela kegiatan yang tidak berguna itu mencakup banyak hal. Sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia menonton televisi, atau sekedar makan siang di mall, seperti yang teman-temannya (masih) lakukan. Sekarang Mikaela ketinggalan mode terbaru, informasi artis mana yang sedang bermasalah hari ini, gosip-gosip, dan kehilangan waktu bersama sahabat-sahabatnya. Yah, dalam hidup kita memang tidak bisa memiiki semuanya bukan? Dan belajar untuk lulus adalah pilihan Mikaela.
Ia berjalan melewati pintu depan. Gereja itu terletak di pinggir jalan, dekat lampu merah. Mikaela berjalan menuju lampu merah yang dikerumuni anak-anak yang mengamen disana. Angkot yang menuju ke rumahnya berada di seberang lampu merah itu. Saat ia menoleh ke kiri dan kanan untuk menyebrang, ia melihat sosok punggung yang rasanya ia kenal. Ia mengurungkan niatnya menyebrang lalu berjalan ke arah orang berkaos hitam itu.
“Nan! Keenan!” Ia sontak memanggil. Si pemilik punggung menoleh.
“Kaela!” Jawabnya.
Mikaela segera mempercepat langkahnya.
“Hei, kamu kemana aja?” ujar Mikaela. Wajahnya sedikit memerah. Harusnya Ia bertanya ‘Apa kabar?’ atau sekedar menyapa ‘Hai’ sebelum bertanya pertanyaan tadi. Tapi sudah berapa lama ia tidak bertemu Keenan? Setahun? Wajar ia bertanya.
“Ada. Aku masih di Bandung kok. Kan masih kuliah.” Keenan tersenyum. Mikaela membalas senyum Keenan.
Mereka berdua diam sejenak. Canggung. Toh mereka tidak pernah mengobrol lama. Keenan kakak kelasnya yang berbeda usia dua tahun. Baru satu tahun Mikaela menginjak bangku SMA, Keenan sudah lulus. Dan satu-satunya tempat dimana Mikaela bisa bertemu Keenan adalah di gereja. Ibu Mikaela adalah anak dari pastor disana. Mikaela sebenarnya bukan ingin mengetahui dimana Keenan atau bagaimana kuliahnya. Tapi maksud lebih spesifik lagi dari pertanyaannya adalah ‘Kamu kenapa nggak ada di satu-satunya tempat dimana saya bisa ketemu kamu?Di gereja itu!"
  “Mmm.. Kamu mau kemana abis ini?” Keenan memecah kesunyian.                                                 Kemungkinan akan pernyataan selanjutnya membuat Mikaela menggelengkan kepalanya. Sedikit berharap, tak apa-apa kan? Pikirnya. “Nggak kemana-mana lagi.”
 “Makan yuk? Saya traktir. Kamu kok makin kurus sejak terakhir ketemu.”
Tanpa berpikir lagi Mikaela menggangguk semangat. Terlalu semangat, malah. Nanti malam aku dobel deh jam belajarnya, pikirnya lagi.
“Ada burger murah enak deket sini. Kamu suka?” Keenan menunjuk arah di belakang punggungnya.
“Suka. Pake kentang goreng boleh nggak?”
Keenan terkekeh. “Boleeeh..” Mereka lalu berjalan menuju tempat yang dimaksud Keenan.
“Kamu kecil kecil makannya banyak juga ya.”
Mikaela mengangkat bahu. “Saya kan maih pertumbuhan. Kamu yang udah ga bertumbuh lagi.”
Keenan menjitak kepala Mikaela pelan. “Kamu sekarang kelas tiga SMA kan? Mau kuliah jurusan apa?”
Mikaela sedikit ragu sebelum menjawab, “Belum tahu.”
Bola mata Keenan melebar. “Wow, kita bareng dong ntar. Saya juga mau ujian masuk tahun ini.”
Kunyahan Mikaela berhenti. “Serius?” Ujarnya. “ Kamu bukannya udah semester empat?”
Keenan tertawa.

 (to be continued)

 (next)
 
“Emang kenapa?”
“Tuhan sudah pensiun"
“Saya antar.”
“Nggak.”
“Nggak bisa. Kamu saya antar.”
Mikaela menyambar tas tangannya lalu cepat-cepat berlalu. Aku nggak salah orang kan? Pikirnya. Ini Keenan yang sama dengan Keenan yang dulu dia kenal? Yang selalu bisa memukau Mikaela dengan filosofinya? No. Kali ini dia salah menilai.

No comments:

Post a Comment

Creative Commons License
Journey. And Us. is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.