“… and my mind is a mad house I only share with
you.“
Jadi
saya sedang blogwalking dan menemukan tulisan ini
Lalu
ikutan mikir seperti biasa..hihi
Sekarang—at
the age of 22, mulai sering frekuensinya mendatangi pernikahan kerabat dekat
seperti teman SD, kakak kelas di IMAB, bahkan temen sendiri. Lucu rasanyaa
nginget si temen SD saya ini dulu pake rok super pendek pas masuk SD (yang
bikin saya shock therapy) dan kemaren-kemaren sudah jadi nyonya. Lalu setelah
wedding kembali kuliah seperti biasa.hihi. Termasuk temen-temen yang setelah
menikah memutuskan langsung punya baby, dan saya harus merelakan diri dipanggil
‘Tante Bea’ instead of ‘Kakak’ as usual.
Lalu
membaca blog di atas, saya juga ikutan berpikir:
“Apa
sih yang membuat seseorang memutuskan untuk menikah?”
Umur?
Status ‘sudah punya pacar’? Status ‘sudah mapan’? Tuntutan orang tua? Supaya
punya anak? Atau karena simply..yaa others do it, why should’t I?
Nggak
bisa dipungkiri ketika menghadiri weddings dimana si cewek jadi princess
sehari, terlihat super cantik dan sumingrah, dan sema hal-hal sweet lainnya
tentang mereka berdua yang hari itu bebas di-overexposed tanpa ada nada yang
protes, kadang bikin saya ‘latah’ dan ikutan kepengen juga. Normal sih. Tapi
buat saya, latah itu hilang gitu aja begitu pulang dari wedding itu.
Being
raised by a divorced parents makes me thinks. Hard. Weddings are hard to maintain.
Marriages even harder.
Ketika
saya menikah nanti (amin!) saya ingin alasannya karena—saya nggak bisa
ngebayangin gimana ngelewatin day by day tanpa si partner si samping saya. Klise?
Well, I am a princess-type-oriented. Hehe
House
and home has a very different meaning. House adalah gedung atau ruangan,
sementara home adalah tempat kita ‘pulang’. Kata pulang sendiri—hanya bisa
dipakai ketika kita akan ke ‘rumah’. Nggak mungkin kan ‘pulang ke kantor’ atau ‘pulang
ke mall’.
Pulang
pasti ke rumah.
Saya mau pulang ke rumah saya.
Kalau
kata orang setelah menikah nanti nggak bebas, nggak bisa ‘pacaran’ lagi,
keadaan pasti berubah, dan lain lain, menurut saya sih tergantung mereka
sebagai pasangan. Yah, memang harus berubah sih, namanya juga udah kawin.
Saya
nggak keberatan tuh tiap disuruh nemenin pacar saya latihan, atau nunggu dia
pulang tiap malam. Dia juga nggak kebertan harus ngurangin kegiatan demi
anter-jemput saya (mungkin khawatir saya nyasar di jalan :p)
Sejauh
ini juga dibebasin aja tuh beli sepatu mahal-mahal dan selalu bilang ‘Pengen
Pizzaaa’ tanpa ngeluh.
10
tahun dari sekarang, saya juga pengen(nya) nggak protes ketika nemenin dia.
Maunya sih, nggak tau yaa besok-besok gimana.hihi
Hanya karena ada orangorang yang kemudiannya merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki, gak menjamin bahwa semua orang (pada akhirnya) akan merasa gak puas juga. Demikian juga, hanya karena ada orangorang yang merasa puas banget dengan apa yang dimiliki, bukan berarti dia punya hak untuk mengajarkan orang lain.”
Buat
saya--saya simply pengen pulang.
Ke
orang yang bikin saya berpikir, “I can’t wait to tell him this!” ketika ada
hal-hal yang terjadi hari itu.
Orang
yang membiarkan saya beli sepatu online yang harganya 255.000 tanpa
protes.(hihihi)
Orang
yang mau nemenin saya makan menu soto ayam tiap malam tanpa ngeluh kalau saya
membosankan.
Orang
yang bisa bikin saya tidur pules walaupun ada dia—sebagai orang asing—juga tidur
di kasur saya.
Orang
yang membiarkan saya ngejeans dan pake kaos belel.
Yang
nemenin saya ketawa-ketawa ngakak karena
our silly jokes.
Yang
sayang saya dan mama gimanapun keadaan kami.
Yang
mau—dan akan—struggle this life together as a partner, not as a dictator. :p
Udah
ah. Jadi kangen kan.hihi
No comments:
Post a Comment